Les privat | SD | SMP | SMA | guru ke rumah jakarta: guru les smp

Tampilkan postingan dengan label guru les smp. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label guru les smp. Tampilkan semua postingan

Selasa, 15 Januari 2013

Guru les SMP - Guru privat SMP ke Rumah


Belajar yang Menyenangkan guru les smp ke rumah,guru privat smp ke rumah, les privat smp ke rumah, guru les privat smp ke rumah, les privat matematika smp, les privat ipa smp, guru ke rumah smp

Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang bersifat menetap melalui serangkaian pengalaman. Belajar tidak sekadar berhubungan dengan buku-buku yang merupakan salah satu sarana belajar, melainkan berkaitan pula dengan interaksi anak dengan lingkungannya, yaitu pengalaman. Hal yang penting dalam belajar adalah perubahan perilaku, dan itu menjadi target dari belajar.
"Belajar lagi, belajar lagi........bosan ahh.......!", gerutu sebagian besar anak-anak saat disuruh belajar. Biasanya mereka juga tidak langsung menurut bila disuruh belajar, tapi berusaha menghindar dengan berbagai alasan. Mereka lebih tertarik untuk bermain atau menonton Doraemon atau mengikuti berbagai kegiatan lain daripada harus belajar. Bukan hanya ini saja kesulitan yang dihadapi orangtua. Sejak pagi hari orangtua sudah cukup dibuat repot saat membangunkan anak-anak untuk sekolah, tugas yang barangkali lebih sulit daripada pekerjaan di kantor.
Saya ingat pengalaman saya sendiri semasih kecil dulu, orangtua harus membangunkan saya berulang kali hingga saya benar-benar beranjak dari tempat tidur. Karena harus mengantri kamar mandi, sambil menunggu biasanya saya tertidur lagi. Kadang-kadang dalam keadaan baru bangun kesadaran masih belum penuh sehingga gerakan pun serba lambat, sedangkan ibu dalam kepanikannya harus mengurus banyak hal, seperti menyiapkan sarapan dan bekal untuk suami dan anak-anak serta berbagai hal kecil lainnya. Harus diakui bahwa tugas membangunkan anak untuk sekolah paling banyak menyita waktu, energi, dan emosi orangtua.
Selain pengamatan umum tentang ketidaksukaan anak terhadap kegiatan belajar ini, ada pula dukungan survai yang dilakukan oleh Tony Buzan. Tiga puluh tahun lamanya ia melakukan penelitian yang berkaitan dengan asosiasi seseorang terhadap kata "belajar". Waktu ditanyakan kepada responden kesan apa yang muncul dalam pikiran mereka saat mendengar kata "pendidikan" atau "belajar", jawabannya adalah "membosankan", "ujian", "pekerjaan rumah", "buang-buang waktu", "hukuman", tidak relevan", "tahanan", 'idih'....., "benci dan takut".
Dapat disimpulkan bahwa belajar dan sekolah bukanlah hal yang menyenangkan bagi anak-anak. Padahal saat anak-anak belum cukup umur, mereka merengek-rengek mau ikut sekolah bersama kakaknya. Mereka juga senang menulis dan menggambar atau membuka-buka buku walaupun belum mengerti isinya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan anak-anak kita ini? Apakah karena belajar telah menjadi semacam pemaksaan dan beban saat anak mulai bersekolah sehingga keasyikan mereka menguasai keterampilan menjadi hilang?
Apakah Belajar Itu?
Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang bersifat menetap melalui serangkaian pengalaman. Belajar tidak sekadar berhubungan dengan buku-buku yang merupakan salah satu sarana belajar, melainkan berkaitan pula dengan interaksi anak dengan lingkungannya, yaitu pengalaman. Hal yang penting dalam belajar adalah perubahan perilaku, dan itu menjadi target dari belajar. Dengan belajar, seseorang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Kita perlu memperluas pemahaman tentang belajar tidak hanya pada pengetahuan yang bersifat konseptual, melainkan juga hal-hal yang menyangkut keterampilan serta sikap pribadi yang mempengaruhi perilaku seseorang. Ada empat area yang disentuh berkenaan dengan belajar yaitu:
  1. Citra diri dan perkembangan kepribadian
  2. Latihan keterampilan hidup
  3. Cara berpikir atau pola pikir
  4. Kompetensi atau kemampuan yang bersifat akademik, fisik, dan artistik.
Selain itu ada satu area lagi yang menurut penulis sangat penting yaitu area yang bersifat rohani, yang menyangkut pengenalan seseorang terhadap Tuhan.
Tony Buzan, seorang psikolog dari Inggris, mengatakan demikian; "Pada saat seorang anak dilahirkan, ia sebetulnya benar-benar brilian." Sebab itu, adalah salah jika orangtua beranggapan anaknya bodoh. Bila ia dikatakan bodoh, maka kemungkinan ia akan menjadi bodoh. Saran yang diberikan adalah agar anak mendapatkan sebanyak mungkin latihan fisik yang menggunakan tangan dan kaki seperti merangkak, memanjat, dan sebagainya. Orangtua perlu memberi kesempatan pada anak-anak untuk belajar dari kesalaha, yaitu melalui trial and error (coba-salah). Anak-anak suka bereksperimen, mencipta, dan mencari tahu cara bekerjanya sesuatu. Mereka juga suka pada tantangan. Sebab itu penting bagi orangtua untuk memperluas dunia anak mereka, tidak terbatas hanya di rumah saja.
Anak-anak juga cenderung bertanya tentang segala hal yang tampak baru bagi mereka. Untuk itu dibutuhkan kesabaran orangtua untuk mendengarkan dan menjawab pertanyaan mereka. adalah kurang bijaksana jika orangtua menanggapi pertanyaan anak dengan mengatakan; "Sudah, kamu anak kecil nggak usah tanya-tanya, bawel amat, sih, "atau; "Kamu masih kecil, nanti sudah besar juga akan tahu sendiri." Dalam hal ini orangtua sebenarnya sedang mematikan rasa ingin tahu anak. Padahal rasa ingin tahu ini adalah hal yang sangat penting dalam proses belajar.
Ada orangtua yang beraksi dengan cara lain, yaitu dengan tidak menghiraukan atau mendiamkan anak, atau hanya menjawab seadanya agar anak segera berhenti bertanya. Pola asuh yang demikian tentu tidak mendukung metoda CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang berusaha diterapkan di sekolah-sekolah sekarang ini. Sadar atau tidak, pola asuh orangtua atau cara guru mengajar memiliki andil dalam membentuk anak-anak kita menjadi aktif atau pasif. Bagi anak, bertanya merupakan modal dasar mereka untuk belajar.
Selain itu, anak juga banyak belajar dengan cara meniru orang dewasa. Mereka mencontoh orang dewasa dengan melihat dan mengamati, atau dengan mendengar. Karena itulah, kita tidak usah heran mendengar anak kita tiba-tiba mengucapkan kata-kata makian atau kata kasar yang tidak pernah kita ajarkan. Mungkin mereka mendengar makian itu dari pembantu, dari televisi, atau dari kita sendiri. Saat anak mengucapkan kata-kata kasar seperti itu, saat itu juga orangtua perlu memberi penjelasan tentang arti kata-kata tersebut beserta dampaknya dan berusaha mengoreksinya.
Usia Efektif Belajar.
Kapan waktu yang paling tepat bagi seorang anak untuk belajar secara optimal? Teori perkembangan kognitif Piaget memberi penekanan pada faktor kematangan atau kesiapan dalam belajar, artinya ada masanya bagi seorang anak untuk belajar sesuatu. Sebab itu adalah sia-sia jika kita mengajarkan sesuatu kepada anak sebelum waktunya. Misalnya, anak yang belum memasuki tahap perkembangan kognitif praoperasional (2-7 tahun) umumnya masih akan mengalami kesulitan dalam belajar bahasa karena belum mampu menggunakan simbol-simbol. Oleh karena itu, penganut teori Piaget berpendapat bahwa adalah sia-sia mengajar bahasa (di luar bahasa ibu) kepada anak usia di bawah lima tahun.
Namun belakangan ini berkembang teori belajar yang bisa kita baca dalam buku Accelerated Learning for the 21st Century oleh Colin Rose dan Malcolm J. Nitcholl, yang mengatakan bahwa sejak lahir sampai dengan usia 10 tahun adalah masa-masa yang sangat penting dan peka bagi anak untuk belajar. Disebutkan bahwa 50% kemampuan belajar anak dikembangkan pada masa empat tahun pertama, 30% dikembangkan menjelang ulang tahunnya yang ke-8, dan tahun-tahun yang amat penting tersebut merupakan landasan atau penentu bagi semua proses belajarnya di masa depan.
Berdasarkan teori tersebut, anak perlu diberi banyak rangsangan pada masa empat tahun pertama agar ia belajar dan menyerap banyak hal. Tahun-tahun pertama inilah yang justru merupakan saat tepat dan ideal bagi anak untuk belajar lebih dari satu bahasa. Dikatakan juga bahwa semua anak sebenarnya jenius di bidang bahasa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa saat terbaik untuk mengembangkan kemampuan belajar adalah sebelum masuk sekolah, karena sebagian besar jalur penting di otak dibentuk pada tahun-tahun awal tersebut. Dalam hal ini, orangtua memegang peranan sangat penting dalam meletakkan fondasi bagi pengembangan kemampuan belajar anak.
TIPS-TIPS PRAKTIS
Berikut adalah kiat-kiat praktis agar belajar menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi anak.
  1. Ciptakan Lingkungan Tanpa Stres (Rileks).
    Seorang ibu mengeluh bahwa anaknya yang baru kelas 3 SD sudah dapat mengungkapkan bahwa dirinya stres. Jika dipikir-pikir, anak-anak mendapatkan banyak tekanan, baik dari guru-guru di sekolah maupun orangtua dengan harapan-harapan yang terkadang kurang realistis demi terpenuhinya cita-cita orangtua yang dulu tidak berhasil dicapai.
    Orangtua hendaknya tidak terlalu menekankan nilai, kelulusan, dan gelar, sebab hakekat belajar bukan terletak pada itu semua. Saya ingat sekali pengalaman saya sewaktu di SD. Saya sangat lemah dalam bidang matematika. Setiap kali akan ulangan matematika, orangtua saya membuatkan soal latihan banyak sekali yang mencakup seluruh materi pelajaran yang telah diajarkan. Pada hari itu saya pasti tidur sangat malam karena orangtua terus mendesak saya menyelesaikan semua soal yang ada sampai saya menangis-nangis memohon agar hal ini segera diakhiri. Hingga keesokan paginya pun, orangtua saya tetap berusaha menggunakan menit-menit terakhir bahkan terkadang sampai di gerbang sekolah pun saya masih dijejali rumus-rumus yang harus dihafalkan.
    Tidak dapat disangkal bahwa akhirnya kepanikan orangtua juga menular pada diri saya sehingga betapa keras pun usaha orangtua mengajar saya, nilai saya tetap jelek, kadang-kadang pas-pasan. Yang jelas, sejak itu saya jadi agak alergi dengan pelajaran matematika.
    Anak tidak bisa belajar efektif dalam keadaan stres. Syarat pembelajaran yang efektif adalah lingkungan yang mendukung dan menyenangkan. Belajar perlu dinikmati dan timbul dari perasaan suka serta nyaman tanpa paksaan. Untuk menciptakan lingkungan tanpa stres bagi anak, penting bagi orangtua agar rileks dan tidak
    menetapkan target atau menuntut anak melebihi kemampuannya.
    Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan tuntutan dari orangtua dengan budaya yang berbeda. Orangtua dari budaha Jepang dan Cina menetapkan standar yang lebih tinggi terhadap prestasi anak, mengevaluasi dengan ketat hasil yang diperoleh, dan mendorong anak untuk bekerja lebih keras. Sedangkan orangtua Amerika lebih menekankan kemampuan dasar (IQ) anak daripada kerja keras dalam mencapai prestasi akademik. Sebenarnya perlu bagi orangtua untuk merefleksi diri dan menjawab dengan jujur pertanyaan; "Apakah yang saya lakukan ini adalah untuk kepentingan anak saya atau untuk kepentingan diri saya sendiri?"
  • Manfaat Sarana Bermain untuk Belajar.
    Dunia anak adalah dunia bermain. Bermain adalah metode belajar yang paling efektif. Anak-anak belajar dari segala kegiatan yang mereka lakukan. Kuncinya adalah bagaimana mengubah kegiatan bermain menjadi pengalaman belajar. Ketika anak merasa senang dan nyaman, ia akan mampu belajar dengan baik. Bagi anak kecil yang sedang belajar menghafal kata-kata yang berlawanan seperti kata atas dan bawah, sambil bermain bola kita bisa mengucapkan "jika bola dilempar ke atas pasti akan jatuh ke bawah", belajar kata nyala dan padam dengan memainkan lampu, belajar kata buka dan tutup melalui pintu yang dubuka dan yang ditutup, dan seterusnya. Bagi anak yang lebih besar, saat ulangan pelajaran hafalan, orangtua dapat menanyakan kembali melalui permainan tebak-tebakan dengan sistem poin. Jumlah poin yang diperoleh dapat ditukar dengan makanan kesukaannya. Yang ingin ditekankan di sini bukan pada permainannya, tapi kegembiraan yang menyertai.
    Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor emosi sangat penting dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Ketika suatu pelajaran melibatkan emosi positif yang kuat, umumnya pelajaran tersebut akan terekam dengan kuat pula dalam ingatan. Untuk itu, dibutuhkan kreatifitas guru dan orangtua untuk menciptakan permainan-permainan yang dapat menjadi wadah dan sarana anak untuk belajar, misalnya melalui drama, warna, humor, dan lain-lain.
  • Gunakan Kelima Indra Anak sebagai Jalur Belajar.
    Bagian neokorteks dari otak kita terbagi dalam beberapa fungsi khusus seperti fungsi berbicara, mendengar, melihat dan meraba. Kita menyimpan memori-memori indrawati di tempat yang berbeda. Jika ingin memiliki memori yang kuat, kita harus menyimpan informasi dengan menggunakan semua indera kita - melihat, mendengar, berbicara, menyentuh, dan membaui. Anak-anak umumnya belajar melalui pengalaman konkret yang aktif. Untuk memahami kondep 'bulat' yang abstrak, seorang anak perlu bersentuhan langsung dengan benda-benda bulat, apakah itu dengan cara melihat dan meraba benda bulat atau dengan cara menggelindingkan bola. Menurut Vernon A. Magnesen dalam Quantum Teaching, kita belajar 10% dari apa yang kita baca; 20% dari apa yang kita dengar; 30% dari apa yang kita lihat; 50% dari apa yang kita lihat dan dengar; 70% dari apa yang kita katakan; dan 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.
  • Pakailah Seluruh Dunia Sebagai Ruang Kelas.
    Ubahlah segala sesuatu yang ada di sekitar kita menjadi pengalaman belajar. Marzollo dan Lloyd berkata demikian; "Semuanya tersedia di sekitar Anda." Berikut ini adalah beberapa ide kreatif dari buku Revolusi Cara Belajar, oleh Gordon Dryden & Dr. Jeanette Vos: " Belajar tentang berbagai bentuk.
    Bentuk lingkaran bisa dilihat pada roda, balon, matahari, bulan, kacamata, mangkok, piring, uang logam; sedangkan persegi panjang bisa dilihat pada pintu, jendela, buku, kasur. Bujursangkar bisa dilihat di layar komputer, televisi, kotak tissu, saputangan, taplak meja; sedangkan segitiga bisa dilihat pada pohon Natal, rumah, gunung, dan tenda.
    " Belanja di supermarket menjadi petualangan belajar. Sebelum belanja, minta anak-anak Anda untuk mengecek kulkas dan seluruh isi rumah, kira-kira apa saja yang dibutuhkan oleh mereka dan seluruh anggota keluarga. lalu diadakan lomba waktu berada di supermarket. Siapa yang paling cepat dan paling banyak menemukan barang-barang yang dibutuhkan, dialah yang menang. " Belajar menghitung benda-benda nyata Minta anak untuk menghitung benda-benda yang dapat disentuhnya, misalnya; "Kamu punya satu hidung dan berapa mata? Berapa jarimu?" libatkan juga anak ketika Anda menyiapkan meja untuk dua, tiga, atau empat orang. Atau biarkan anak Anda yang menghitung uang ketika membayar di kasir.
    " Belajar mengkategorikan sesuatu. Otak menyimpan informasi melalui asosiasi (persamaan) dan penggolongan atau kategori dan Anda bisa menciptakan kegiatan bermain anak sambil bekerja. Waktu Anda hendak membereskan pakaian, anak bisa diminta untuk memilah-milah berdasarkan warna pakaian, jenis pakaian, maupun pemilik. Dengan demikian, Anda dapat tetap mengerjakan tugas rumah tangga sambil anak juga belajar tentang sesuatu.
  • Pentingkan dorongan positif.
    Berdasarkan penelitian, anak sejak usia dini rata-rata menerima enam komentar negatif untuk satu dorongan positif yang diterimanya. Saya kira, tingkat perbandingan dorongan positif dan negatif di Indonesia akan jauh lebih besar. Kebanyakan kita dibesarkan dalam lingkungan dengan komentar negatif yang lebih banyak daripada yang positif. Padahal dorongan positif memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membangun rasa percaya diri anak dan memacu semangat agar anak berprestasi dengan lebih baik lagi. Sebagai orangtua yang mungkin dibesarkan dalam keluarga yang lebih banyak memberikan komentar negatif, seyogyanya kita lebih berhati-hati agar kita tidak mengulang kesalahan yang sama pada anak-anak kita.
  • CINTA adalah resep penting dalam pendidikan anak.
    Prof. Diamond, seorang ahli saraf, mengingatkan bahwa cinta merupakan resep paling penting dalam dunia pendidikan anak. Kehangatan dan kasih sayang adalah faktor utama dalam mendukunga perkembangan seutuhnya. Sentuhan emosi memberikan dampak besar dalam proses belajar anak.
  • Perlu diketahui bahwa kapasitas otak manusia tidak terbatas. Seseorang bisa terus belajar sejak lahir sampai akhir hidupnya. Menurut Antonia Lopez, "Tugas utama orang dewasa adalah menyediakan sebanyak mungkin kesempatan yang sesuai dengan tingkat umur dan mengembangkannya secara bertahap." Otak pun akan mampu bekerja secara efektif bila digunakan secara teratur. Ada pepatah kuno berbunyi demikian; "If you don't use it, you lose it"-Jika tidak digunakan, Anda akan kehilangan otak Anda.
    Penulis : Shelfie Tjong, S.Psi.
    Sumber: Eunike
    sumber : http://www.telaga.org/artikel/belajar_yang_menyenangkan


    Senin, 14 Januari 2013

    Kurikulum 2013 dalam wacana - guru les privat sd smp sma ke rumah jakarta


    guru les privat sd, guru les privat smp, guru les privat sma, guru privat sd smp sma ke rumah jakarta
    KURIKULUM 2013: Merencanakan Kegagalan Pendidikan (Lagi)
    Saat ini Kemendikbud sedang menyusun Kurikulum baru yang bakal digunakan pada tahun 2013. Uji publik juga sudah dimulai. Upaya ini dilakukan sebagian sebagai respons atas tawuran pelajar dan mahasiswa yang marak, dan sinyalemen keras bahwa kurikulum kita saat ini overloaded, terlalu banyak mata pelajaran yang disajikan di sekolah. Kemudian mata pelajaran IPA dan IPS dihapus di SD, dimasukkan secara tematik dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Agama, atau Kewarganegaraan.  Disinyalir jumlah mata pelajaran yang terlalu banyak  telah menyebabkan pembelajaran dangkal, bukan mendalam. guru les sd ke rumah, guru les smp ke rumah, guru les sma ke rumah
    Dalam draftnya, kurikulum baru ini dikembangkan sebagai bagian dari strategi pengembangan pendidikan tiga dimensi. Dimensi pertama adalah peningkatan efektifitas belajar. Kurikulum dan pelaksananya, yaitu guru, menjadi kunci. Dimensi kedua, meningkatkan lama tinggal di sekolah hingga jenjang SMU melalui program Pendidikan Menengah Universal, atau program Wajib Belajar 12 tahun. Yang ketiga adalah menambah jam belajar di sekolah hingga sore hari. Ketiga strategi ini tentu perlu kita apresiasi. Tulisan pendek ini bermaksud memberi catatan kritis atas strategi tersebut. www.gurulesprivat-kerumah.blogspot.com
    Catatan pertama, ketiga dimensi strategi tersebut saling berkaitan, bukan besaran yang berdiri sendiri. Harus dikatakan bahwa dimensi pertama sesungguhnya adalah strategi yang paling menentukan. Dalam banyak kasus, dimensi kedua dan ketiga justru bisa menghambat dimensi yang pertama. Ini telah ditunjukkan oleh Ivan Illich sekitar 40 tahun yang lalu dan bisa kita amati secara empiris di sekitar kita saat ini : semakin banyak sekolah, semakin lama bersekolah, semakin besar anggaran pendidikan, semakin banyak sarjana, tapi masyarakat tampaknya tidak semakin terdidik.
    Kedua, ada asumsi yang kuat bahwa dimensi kedua, yaitu, semakin lama bersekolah (hingga jenjang sekolah menengah) semakin baik. Lalu semakin lama di sekolah (pulang sore) (dimensi ketiga) juga semakin baik. Asumsi ini hanya valid bila dimensi pertama valid, artinya, pembelajaran terjadi secara efektif. Jika asumsi ini tidak valid, semakin lama seorang murid bersekolah dan di sekolah hingga sore hari, justru semakin buruk akibatnya bagi dirinya. Asumsi-asumsi ini sangat dipengaruhi oleh schoolism yang mereduksi pendidikan sebagai persekolahan belaka.
    Strategi dimensi kedua dan ketiga yang lebih bersifat kuantitatif relatif lebih mudah melaksanakannya. Persoalannya hanya ketersediaan anggaran. Semakin besar anggaran, semakin baik.  Sementara dimensi pertama yang lebih kualitatif jauh lebih sulit.  Untuk dimensi pertama inilah, praktek pendidikan kita selama ini kedodoran. Artinya proses pembelajaran di banyak sekolah kita tidak berlangsung efektif : tidak membangun karakter dan kompetensi-kompetensi kunci yang diperlukan agar hidup sehat dan produktif.
    Kedodoran itu dibuktikan dengan otak-atik kurikulum yang dilakukan selama ini, termasuk upaya pengembangan kurikulum 2013 saat ini. Kedodoran itu diperparah oleh guru yang tidak kompeten dan budaya sekolah yang tidak meritokratik sebagai pelaksana kurikulum yang mengubah kurikulum yang direncanakan menjadi kurikulum yang terlaksana.
    Pada akhirnya pendidikan yang baik tergantung bagaimana murid belajar sebagai sebuah proses memaknai pengalamannya sehari-hari. Proses memaknai pengalaman itu kemudian ditunjukkan oleh perubahan sikap dan praktek kehidupan sehari-hari yang diteladankan guru dan dibudayakan di sekolah. Sesederhana ini sebenarnya apa yang bisa kita harapkan dari pendidikan : memperbaiki praktek kehidupan sehari-hari, bukan untuk menjuarai lomba-lomba sains, atau lulus Ujian Nasional.
    Perbaikan mutu pendidikan ini dengan demikian sesungguhnya tergantung pada kualitas guru dan budaya sekolah di mana murid mengalaminya sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari, bukan sekedar menjelang ujian-ujian. Jika kualitas guru seburuk saat ini, dan budaya sekolah sebirokratis saat ini, lama bersekolah justru semakin menggerogoti kemandirian dan imajinasi, bahkan juga mengasingkan murid dari kehidupan nyata sehari-hari. Sekolah menjadi ladang pembantaian inovasi, tempat yang pengap bagi beragam ekspresi multi-ranah multi-cerdas murid-muridnya.
    Yang kita butuhkan saat ini bukan perubahan kurikulum, tapi perubahan guru dan budaya belajar. Guru harus menjadi sosok yang mandiri dan teladan manusia merdeka yang tidak mudah diintimidasi oleh birokrat.pendidikan dan wali murid. Pembinaannya harus dilakukan oleh organisasi profesi guru, bukan oleh Pemerintah. Guru tidak boleh dipandang lebih sebagai pegawai, tapi sebagai profesional yang bekerja dengan berpedoman pada kode etik guru.
    Budaya belajar dapat dikembangkan dengan sederhana. Mulailah dengan membangun budaya membaca yang sehat. Sediakan layanan perpustakaan yang baik, dengan koleksi buku yang bermutu, serta akses internet yang memadai hingga tingkat kecamatan. Kemudian hargai pengalaman dan praktek murid sehari-hari menjadi bagian dari diskusi kelas. Kembangkan budaya menulis, lalu beri kesempatan luas untuk berbicara. Begitulah budaya belajar di sekolah dibentuk. Jadikan sekolah sebagai tempat murid belajar, bukan sekedar tempat guru mengajar, dan statistik kelulusan ujian diukur untuk kepentingan birokrasi. les privat sd, les privat smp, les privat sma ke rumah
    Di abad internet ini, belajar semakin tidak membutuhkan sekolah. Yang dibutuhkan adalah sebuah jejaring belajar (oleh Ivan Illich disebut learning web) yang lentur dan luwes. Murid bisa belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja.  Kurikulum, melalui guru, harus menyesuaikan murid, bukan sebaliknya.  Dalam perspektif ini, kita tidak membutuhkan Kurikulum Nasional. Kita butuh standar nasional yang bersifat generik.  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebenarnya sudah cukup baik, namun tidak terlaksanakan oleh guru yang kompeten yang berani secara kreatif merancang proses pembelajaran yang paling sesuai bagi murid-muridnya. Saya khawatir ikhtiar Kemendikbud kali ini akan sia-sia (lagi) dan Kurikulum 2013 akan menjadi perencanaan kegagalan pendidikan dan kita bakal menuai tagihan demografi, bukan bonus demografi.***
    sumber : http://www.bincangedukasi.com/kurikulum-2013-daniel-rosyid.html

    Kamis, 10 Januari 2013

    Les privat smp ke rumah - guru privat smp ke rumah

    Les privat smp ke rumah - guru privat sd ke rumah


    guru les privat smp ke rumah Sekolah menengah pertama (disingkat SMPBahasa Inggrisjunior high school) adalah jenjang pendidikan dasar pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus sekolah dasar (atau sederajat). Sekolah menengah pertama ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 7 sampai kelas 9. Pada tahun ajaran 1994/1995 hingga 2003/2004, sekolah ini pernah disebut sekolah lanjutan tingkat pertama(SLTP).
    Murid kelas 9 diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang memengaruhi kelulusan siswa. Lulusan sekolah menengah pertama dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan (atau sederajat).pentingnya guru les privat smp ke rumah
    Pelajar sekolah menengah pertama umumnya berusia 13-15 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni sekolah dasar (atau sederajat) 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun.
    Sekolah menengah pertama diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan sekolah menengah pertama negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulatordalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, sekolah menengah pertama negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota. les privat smp ke rumah
    Di beberapa negara, SMP berlaku sebagai jembatan antara sekolah dasar dengan sekolah menengah atas. Namun istilah tersebut dapat dipergunakan secara berbeda di beberapa negara, kadang-kadang saling berbanding terbalik. Untuk negara-negara yang mempergunakanbahasa Cina, khususnya di CinaTaiwan dan Hong Kong, juga di Italia (= scuola media), SMP berkonotasi yang sama dengan secondary school.
    Oleh karenanya di beberapa istilah di pemerintahan dan institusi pendidikan, SMP adalah nama lain dari "junior high school", yang pada dasarnya suatu sekolah setelah sekolah dasar. Penamaan sebagai junior high mulai muncul sekitar tahun 1909 pada waktu pendirian sekolah Indianola Junior High School di Columbus, Ohio.[1] Sedangan konsep penamaan sebagai middle school mulai diperkenalkan pada tahun 1950 dari Bay City, Michigan.[1] www.gurulesprivat-kerumah.blogspot.com